Rabu, 07 November 2012

ICT Literacy


Istilah E-Literacy dan ICT Literacy
Istilah “e-literacy” diartikan sebagai kemampuan menggunakan perangkat teknologi informasi (Indrajit, 2005: 37). Alan Martin (seperti yang dikutip oleh Secker, 2004: 78) mendefinisakan “e-literacy “ sebagai literasi komputer yang diintegrasikan dengan literasi informasi, literasi moral, literasi media, dan keterampilan belajar dan mengajar. Istilah ini digambarkan sebagai kemampuan individu atau institusi yang sangat penting supaya berhasil dalam mengikuti suatu era yang telah memakai alat-alat dan fasilitas elektronik (e-literacy as computer literacy coupled with elements of information literacy, moral literacy, media literacy and teaching and learning skills. It has been described as: “a crucial enabler of individuals and institutions in moving successfully in a world reliant upon electronic tools and facilities”)
Definisi tersebut menggambarkan bahwa istilah “e-literacy” ini sangat berkaitan sekali dengan ragam istilah “literacy” lainnya yang berarti kemampuan untuk membaca dan menulis (the ability to read and write). Bunz (seperti yang dikutip Indrajit, 2005: 38) menjelaskan kata ini kemudian berkembang dan sering dipadankan dengan “technology” sehingga dikenal istilah “technology literacy” yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggunakan teknologi sebagai alat untuk memahami dan menggunakan teknologi sebagai alat untuk mempermudah mencapai tujuan. Selanjutnya ketika teknologi komputer berkembang, dikenal pula istilah “computer literacy” dari definisi yang sederhana yaitu kemampuan menggunakan komputer untuk memenuhi kepuasan kebutuhan pengguna (Rhodes, 1986) sampai yang sangat berbau filosofis seperti “the collection of skills, knowledge, understanding, values, and relasionships that allow a person to function comfortably as a productive citizen in a computer-oriented society” (Watt, 1980).
Lebih jauh lagi Indrajit (2005) menjelaskan bahwa ketika berkembang secara pesat, istilah “internet literacy” –pun lahir dengan sendirinya, yaitu kemampuan untuk menggunakan pengetahuan internet sebagai media komunikasi dan temu kembali informasi secara teori dan praktis. Kemudian Wijaya (2005: 29) menjelaskan bahwa pada sebuah panel yang diikuti oleh beberapa ahli pendidikan, pakar bidang teknologi industri dan kelompok pekerja dari Australia, Brazil, Kanada, Perancis, Amerika Serikat yang tergabung dalam The International ICT Literacy Panel mengeluarkan definisi sebagai berikut “ICT literacy is using digital technology, communication tools, and/or networks to access, manage, integrate, evaluate and create information in order to function knowlwdge society”
Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa baik istilah “e-leteracy” maupun “ICT literacy” pada dasarnya mempunyai kesamaan dalam tujuan penggunaan teknologi informasi sebagai alat untuk komunikasi dan temu kembali informasi. Dari beberapa pengertian di atas terdapat lima aspek terkait yang merupakan integrasi dan aplikasi kemampuan kognitive dan teknis (Wijaya: 31) yaitu:
1.    Access (akses): mengetahui tentang dan mengetahui bagaimana untuk mengumpulkan dan atau mendapatkan informasi.
2.    Manage (mengelola): menerapkan skema klasifikasi atau organisasi.
3.    Integrate (meng-integrasikan): meng-interpretasikan dan menggambarkan ulang informasi. Hal ini termasuk di dalamnya membuat ringkasan, membandingkan, dan menggarisbawahi.
4.    Evaluate (meng-evaluasi): memutuskan tentang kualitas, keterkaitan, kegunaan, atau efisiensi dari informasi.
5.    Create (menciptakan): menciptakan informasi baru dengan cara mengadopsi, menerapkan, mendesain, membuat atau menulis informasi.
Aspek-aspek ini terintegrasi dalam kemampuan yang bersifat kognitive (teori) sebagai kamampuan dasar yang kita butuhkan setiap saat seperti di sekolah atau tempat kita kerja, antara lain berupa kemampuan memecahkan masalah, numerik dan visualisasi. Sedangkan kemampuan teknis (praktis) dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memahami perangkat keras, perangkat lunak, jaringan dan elemen-elemen teknologi digital.

Tingkat Kematangan E-Literacy
Kemampuan e-literacy pada setiap individu akan memiliki pola yang berbeda sesuai dengan kebutuhan hidup dan kedewasaan masyarakat, seperti yang dapat kita lihat pada gambar di bawah ini (Menteri Komunikasi dan Informatika RI, 2006: 42). Hal ini sesuai dengan kerangka konsep Personal Capabality Maturity Model (P-CMM) yang dikutip oleh Indrajit (2005), maka kurang lebih level e-literacy seseorang dapat digambarkan seperti demikian:
(Sumber: Menteri Komunikasi dan Informatika RI, 2006: 42)
a. Level 0 – jika seorang individu sama sekali tidak tahu dan tidak peduli akan pentingnya informasi dan teknologi untuk kehidupan sehari-hari;
b. Level 1 – jika seorang individu pernah memiliki pengalaman satu dua kali di mana informasi merupakan sebuah komponen penting untuk pencapaian keinginan dan pemecahan masalah, dan telah melibatkan teknologi informasi maupun komunikasi untuk mencarinya;
c. Level 2 – jika seorang individu telah berkali-kali menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk membantu aktivitasnya sehari-hari dan telah memiliki pola keberulangan dalam penggunaannya;
d. Level 3 – jika seseorang individu telah memiliki standar penguasaan dan pemahaman terhadap informasi maupun teknologi yang diperlukannya, dan secara konsisten mempergunakan standar tersebut sebagai acuan penyelenggaraan aktivitasnya sehari-hari;
e. Level 4 – jika seseorang individu telah sanggup meningkatkan secara signifikan (dapat dinyatakan secara kuantitatif) kinerja aktivitas kehidupannya sehari-hari melalui pemanfaatan informasi dan teknologi; dan
f. Level 5 – jika seseorang individu telah menganggap informasi dan teknologi sebagian bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas sehari-hari, dan secara langsung telah mewarnai prilaku dan budaya hidupnya (bagian dari information society atau manusia berbudaya informasi).

E-Literacy dan Peran Pustakawan di Masyarakat
Demikian pentingnya peran pustakawan dalam mengembangkan e-literacy/ICT literacy di masyarakat, sehingga sebagai pustakawan harus menyadari akan tanggung jawab profesi yang telah dipangkunya bagi kemajuan bangsa ini. Salah satunya dalam pidato Menteri Komunikasi dan Informatika RI pada acara Kongres ke-X dan Seminar Ilmiah Nasional Ikatan Pustakawan Indonesia itu, dinyatakan bahwa:
“Kita sadari, bahwa dalam hal kesiapan di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi, maka Indonesia masih berada pada posisi sangat rendah, dan berdasarkan salah satu survey internasional cenderung menurun. ...Pada tahun 2000 Indonesia berada pada posisi 38 dari 65 negara, dan pada tahun 2006 posisi Indonesia turun ke peringkat 62 dari 68 negara. ..., dan untuk mengatasi semua itu, tidak cukup hanya mengandalkan para guru dan pendidik, ustazd serta dosen. Diperlukan jajaran berlapis untuk menuntaskan tugas mulia menjadikan masyarakat Indonesia yang e-literasi. Tumpuan semua itu, tentu saja kepada pundak para pustakawan!”
Selanjutnya, di awal pembukaan pidatonya tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika RI talah menyebutkan tiga titik singgung peran pustakawan dalam pembangunan teknologi informasi dan komunikasi (Telematika) ini, antara lain:
Pertama, Pustakawan sebagai “agent of change” dalam masyarakat, selain memiliki kewajiban profesional, juga menerima panggilan moral untuk melakukan percepatan proses pembelajaran masyarakat;
Kedua, Pustakawan sebagai profesi yang mengabdi kepada kedua kepentingan, yakni warga masyarakat, ummat manusia secara umum dan lembaga tempat bekerja, dimana mereka berkewajiban untuk memelihara keseimbangan dan keserasian tugas bagi sebesar-besar kemaslahatan umat; dan
Ketiga, Pustakawan sebagai anggota masyarakat yang memiliki “posisi sosial tersendiri yang bersifat khas atau unik”, maka mereka diharapkan juga memerankan diri sebagai “tokoh informasi” dalam pembangunan masyarakat yang lebih dipahami sebagai upaya “pemberdayaan masyarakat”.
Melihat kepada peran yang ada di atas, paling tidak seorang pustakawan haruslah dapat menempatkan dirinya sebagai seorang manajer informasi bagi lingkungan masyarakat setempat, dan kalaulah boleh meminjam beberapa ulasan tentang pentingnya ICT literacy bagi seorang manajer yang ditulis oleh Wijaya (2005: 33), maka e-literaci/ICT literacy ini penting sekali bagi seorang pustakawan, antara lain:
1. Untuk menjalankan tugasnya serta memecahkan masalah yang muncul terkait dengan pekerjaannya seorang pustakawan (manajer informasi) selalu membutuhkan data dan informasi.
2. Data dan informasi yang dibutuhkan dapat diperoleh dan diolah dengan cepat, tepat dan akurat agar dapat menghasilkan informasi pemecahan masalah dengan bantuan Information and Communicaton Technology.
3. Agar dapat memanfaatkan Information and Communicaton Technology dengan baik maka pustakawan (manajer informasi) membutuhkan kemampuan terkait Information and Communicaton Technology tersebut atau lebih dikenal dengan ICT literacy.
4. ICT literacy merupakan integrasi dan penerapan dari kemampuan kognitif dan kemampuan teknis.

ICT literasi


 
Istilah E-Literacy dan ICT Literacy
Istilah “e-literacy” diartikan sebagai kemampuan menggunakan perangkat teknologi informasi (Indrajit, 2005: 37). Alan Martin (seperti yang dikutip oleh Secker, 2004: 78) mendefinisakan “e-literacy “ sebagai literasi komputer yang diintegrasikan dengan literasi informasi, literasi moral, literasi media, dan keterampilan belajar dan mengajar. Istilah ini digambarkan sebagai kemampuan individu atau institusi yang sangat penting supaya berhasil dalam mengikuti suatu era yang telah memakai alat-alat dan fasilitas elektronik (e-literacy as computer literacy coupled with elements of information literacy, moral literacy, media literacy and teaching and learning skills. It has been described as: “a crucial enabler of individuals and institutions in moving successfully in a world reliant upon electronic tools and facilities”)
Definisi tersebut menggambarkan bahwa istilah “e-literacy” ini sangat berkaitan sekali dengan ragam istilah “literacy” lainnya yang berarti kemampuan untuk membaca dan menulis (the ability to read and write). Bunz (seperti yang dikutip Indrajit, 2005: 38) menjelaskan kata ini kemudian berkembang dan sering dipadankan dengan “technology” sehingga dikenal istilah “technology literacy” yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggunakan teknologi sebagai alat untuk memahami dan menggunakan teknologi sebagai alat untuk mempermudah mencapai tujuan. Selanjutnya ketika teknologi komputer berkembang, dikenal pula istilah “computer literacy” dari definisi yang sederhana yaitu kemampuan menggunakan komputer untuk memenuhi kepuasan kebutuhan pengguna (Rhodes, 1986) sampai yang sangat berbau filosofis seperti “the collection of skills, knowledge, understanding, values, and relasionships that allow a person to function comfortably as a productive citizen in a computer-oriented society” (Watt, 1980).
Lebih jauh lagi Indrajit (2005) menjelaskan bahwa ketika berkembang secara pesat, istilah “internet literacy” –pun lahir dengan sendirinya, yaitu kemampuan untuk menggunakan pengetahuan internet sebagai media komunikasi dan temu kembali informasi secara teori dan praktis. Kemudian Wijaya (2005: 29) menjelaskan bahwa pada sebuah panel yang diikuti oleh beberapa ahli pendidikan, pakar bidang teknologi industri dan kelompok pekerja dari Australia, Brazil, Kanada, Perancis, Amerika Serikat yang tergabung dalam The International ICT Literacy Panel mengeluarkan definisi sebagai berikut “ICT literacy is using digital technology, communication tools, and/or networks to access, manage, integrate, evaluate and create information in order to function knowlwdge society”
Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa baik istilah “e-leteracy” maupun “ICT literacy” pada dasarnya mempunyai kesamaan dalam tujuan penggunaan teknologi informasi sebagai alat untuk komunikasi dan temu kembali informasi. Dari beberapa pengertian di atas terdapat lima aspek terkait yang merupakan integrasi dan aplikasi kemampuan kognitive dan teknis (Wijaya: 31) yaitu:
1.    Access (akses): mengetahui tentang dan mengetahui bagaimana untuk mengumpulkan dan atau mendapatkan informasi.
2.    Manage (mengelola): menerapkan skema klasifikasi atau organisasi.
3.    Integrate (meng-integrasikan): meng-interpretasikan dan menggambarkan ulang informasi. Hal ini termasuk di dalamnya membuat ringkasan, membandingkan, dan menggarisbawahi.
4.    Evaluate (meng-evaluasi): memutuskan tentang kualitas, keterkaitan, kegunaan, atau efisiensi dari informasi.
5.    Create (menciptakan): menciptakan informasi baru dengan cara mengadopsi, menerapkan, mendesain, membuat atau menulis informasi.
Aspek-aspek ini terintegrasi dalam kemampuan yang bersifat kognitive (teori) sebagai kamampuan dasar yang kita butuhkan setiap saat seperti di sekolah atau tempat kita kerja, antara lain berupa kemampuan memecahkan masalah, numerik dan visualisasi. Sedangkan kemampuan teknis (praktis) dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memahami perangkat keras, perangkat lunak, jaringan dan elemen-elemen teknologi digital.

Tingkat Kematangan E-Literacy
Kemampuan e-literacy pada setiap individu akan memiliki pola yang berbeda sesuai dengan kebutuhan hidup dan kedewasaan masyarakat, seperti yang dapat kita lihat pada gambar di bawah ini (Menteri Komunikasi dan Informatika RI, 2006: 42). Hal ini sesuai dengan kerangka konsep Personal Capabality Maturity Model (P-CMM) yang dikutip oleh Indrajit (2005), maka kurang lebih level e-literacy seseorang dapat digambarkan seperti demikian:
(Sumber: Menteri Komunikasi dan Informatika RI, 2006: 42)
a. Level 0 – jika seorang individu sama sekali tidak tahu dan tidak peduli akan pentingnya informasi dan teknologi untuk kehidupan sehari-hari;
b. Level 1 – jika seorang individu pernah memiliki pengalaman satu dua kali di mana informasi merupakan sebuah komponen penting untuk pencapaian keinginan dan pemecahan masalah, dan telah melibatkan teknologi informasi maupun komunikasi untuk mencarinya;
c. Level 2 – jika seorang individu telah berkali-kali menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk membantu aktivitasnya sehari-hari dan telah memiliki pola keberulangan dalam penggunaannya;
d. Level 3 – jika seseorang individu telah memiliki standar penguasaan dan pemahaman terhadap informasi maupun teknologi yang diperlukannya, dan secara konsisten mempergunakan standar tersebut sebagai acuan penyelenggaraan aktivitasnya sehari-hari;
e. Level 4 – jika seseorang individu telah sanggup meningkatkan secara signifikan (dapat dinyatakan secara kuantitatif) kinerja aktivitas kehidupannya sehari-hari melalui pemanfaatan informasi dan teknologi; dan
f. Level 5 – jika seseorang individu telah menganggap informasi dan teknologi sebagian bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas sehari-hari, dan secara langsung telah mewarnai prilaku dan budaya hidupnya (bagian dari information society atau manusia berbudaya informasi).